SEJAK 2008, saya mengikuti cukup dekat dinamika internal DPD Partai Golkar Kaltim. Saat itu saya tidak hanya mengamati, tetapi juga terlibat dalam berbagai kegiatan partai, khususnya dalam dokumentasi dan publikasi media.
Salah satu tokoh yang membuka ruang pemahaman saya tentang tubuh Golkar adalah Hamdani, mantan Wakil Sekretaris DPD Golkar Kaltim. Bersamanya, saya melihat Golkar bukan sekadar mesin politik, tapi juga ruang kaderisasi yang dibentuk oleh disiplin dan loyalitas.
Kini, suasananya berbeda. Dalam obrolan Senin (7/7) hari ini, Hamdani menyebut bahwa posisi Golkar saat ini, baik di pusat maupun daerah, tak lagi sekuat dulu. “Kalau diibaratkan, seperti petinju kelas menengah. Punya tenaga, tapi tak lagi menakutkan,” ujarnya. Ia menilai, Golkar memang masih eksis secara struktural, tapi daya pengaruhnya di lapangan makin berkurang.
Menurutnya, pergeseran itu banyak dipengaruhi pola kaderisasi. Dulu, jadi pengurus partai bukan perkara mudah. Harus kader murni, tumbuh dari bawah. Sekarang, yang punya akses logistik dan jaringan bisa langsung naik. “Dulu kita bicara darah kuning. Sekarang sudah mulai abu-abu,” ucap Hamdani yang kini memilih aktif di Dewan Kesenian Kaltim dan tidak lagi terlibat dalam kegiatan partai politik.
Ia tak menyalahkan zaman, hanya menekankan pentingnya penyegaran. “Golkar tidak cocok dikelola revolusioner. Tapi tetap perlu ditata ulang, bertahap, tenang, tapi jelas.”
Hamdani juga menyinggung soal kader hari ini yang cenderung pragmatis. “Dulu kader Golkar punya akar kuat ke bawah. Sekarang terlalu banyak yang berpikir praktis. Itu yang perlu diperbaiki.”
Untuk memahami kondisi Golkar hari ini, kita perlu melihat kembali jejak kepemimpinan DPD Partai Golkar Kaltim dari masa ke masa.
Kepemimpinan dimulai dari Harsono, figur penting di era Orde Baru dan awal Reformasi. Setelahnya, tongkat estafet dilanjutkan oleh Nuralianyah (alm), yang memimpin di masa transisi politik nasional.
Setelah Nuralianyah, Golkar Kaltim dipimpin oleh Syaukani Hasan Rais (alm). Di bawah kepemimpinannya, Golkar meraih kemenangan besar pada Pileg 2004 dan mengukuhkan dominasinya di Kaltim. Namun, menjelang Pilgub 2008, Syaukani tersandung kasus hukum yang membuatnya lengser dari jabatan.
Posisi Ketua DPD kemudian dijabat oleh Mukmin Faisyal (alm). Ia dikenal sebagai figur kompromi yang mampu menjaga keseimbangan antar faksi. Kepemimpinannya berlangsung cukup stabil hingga berakhir pada 2008.
Setelah Mukmin, jabatan Ketua DPD Golkar Kaltim dipegang oleh Mahyudin pada periode 2008–2009. Ia naik dari posisi Ketua DPD II Kutai Timur, dan meskipun masa jabatannya relatif singkat, Mahyudin dikenal membawa pendekatan yang lebih terstruktur dan teknokratis dalam tubuh organisasi.
Kursi kepemimpinan selanjutnya diisi oleh Rita Widyasari, yang terpilih melalui Musda 2016. Di bawah Rita, partai mulai membuka ruang lebih besar bagi kaum muda, namun masa jabatannya harus terhenti pada 2017 karena kasus hukum.
Setelah Rita, Makmur HAPK mengambil alih sebagai Ketua Harian sekaligus pelaksana tugas Ketua DPD. Masa transisinya diwarnai ketegangan internal, termasuk dinamika dengan faksi Rudi Mas’ud. DPP sempat menunjuk Andi Sofyan Hasdam sebagai Plt, namun di lapangan, Makmur tetap menjadi figur dominan.
Hingga akhirnya, pada Musda X tahun 2020, Rudi Mas’ud resmi terpilih sebagai Ketua DPD Partai Golkar Kaltim. Ia membawa pendekatan baru yang lebih tenang dan terukur. Kini, menjelang Musda XI, Rudi menjadi satu-satunya kandidat dan hampir pasti kembali memimpin untuk periode berikutnya.
“Kami ditargetkan menang di 60 persen daerah. Tapi tidak semua bisa kami usung sendiri, kami harus bangun koalisi,” ujar Rudy saat itu. Ia sadar, kekuatan partai tak cukup dari struktur, tapi perlu kerja lapangan yang solid.
Meski target kemenangan 60 persen di Pilkada serentak tidak sepenuhnya tercapai, kiprah Rudy Mas’ud justru berlanjut lebih jauh. Ia berhasil memenangkan Pilgub Kaltim 2024 bersama Seno Aji, yang diusung Partai Gerindra. Loncatan politik yang memperkuat posisi Rudy, sekaligus membuka ruang baru bagi Golkar untuk kembali memainkan peran signifikan dalam peta kekuasaan di Kaltim.
Kini, di Musda XI, Rudy Mas’ud kembali menjadi satu-satunya calon. Ia hampir pasti terpilih kembali. Secara elektoral, ia sudah menunjukkan hasil. Golkar memang naik dari 12 menjadi 15 kursi DPRD Kaltim. Tapi angka saja tak cukup. Partai ini butuh proses, kaderisasi, dan nyawa kolektif yang terus menyala.
Rudy Mas’ud kini berada di posisi strategis: Ketua DPD Golkar dan Gubernur Kaltim. Ini momentum penting untuk menyambungkan kembali kaderisasi partai dengan agenda pembangunan daerah.
Tantangannya bukan lagi membangun struktur, tapi memberi arah. Golkar harus terasa, bukan hanya terlihat.
Nama besar tak cukup. Yang dibutuhkan adalah kerja nyata, konsolidasi yang berlanjut, kaderisasi yang hidup, dan kebijakan yang menyentuh. Menyala bukan karena warna, tapi karena kehadirannya dirasakan rakyat. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.