Home TANA PASER Hukum & Kriminal Penerapan Restorative Justice di Paser, 3 dari 4 Perkara Selesai Ditangani

Penerapan Restorative Justice di Paser, 3 dari 4 Perkara Selesai Ditangani

0
Kasi Intelijen Kejari Paser, Hendi Sinatrya Imran. (TB/Media Kaltim)

PASER – Kejaksaan Negeri (Kejari) Paser telah menangani 4 perkara pidana umum (Pidum) dengan pendekatan restorative justice (RJ) sejak diberlakukan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Penerapan penyelesaian perkara yang dilakukan oleh jaksa dengan mengedepankan nuraninya di wilayah terselatan Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) ini, dijelaskan Kepala Seksi (Kasi) Intelijen Kejari Paser, Hendi Sinatrya Imran, dimulai sejak 2020.

Kendati begitu, pada 2020 pihaknya tidak mendapati perkara dengan pendekatan restorative justice. Namun di 2021 yakni 1 perkara dengan pelanggaran lalu lintas. Sementara di 2022 ada 2 perkara penganiayaan dan di 2023 berjumlah 1 perkara penganiayaan pula.

“Dari 4 dari perkara, 3 perkara diantaranya selesai. Sementara 1 perkara tidak selesai,” kata Hendi, saat ditemui, Kamis (27/7/2023).

Dengan begitu, 3 perkara pidana umum yang telah ditangai Kejari Paser dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif. Sementara 1 perkara yang tidak selesai itu, dilanjutkan ke Pengadilan Negeri Tanah Grogot.

Hendi menjelaskan, syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menerapkan restorative justice pada tahap penuntutan, yaitu telah tercipta perdamaian dan pemulihan kembali pada korban, ancaman pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun.

“Selain itu, mengenai kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp 2,5 juta dan bukan pengulangan tindak pidana,” jelasnya.

Sementara, terhadap tindakan yang dapat mengancam keamanan negara, korupsi, kejahatan terhadap nyawa orang, tindak pidana lingkungan hidup, dan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, tidak diberlakukan pada penerapan ini.

Kendati mekanisme penyelesaian perkara yang berfokus pada pemidaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi, Hendi menyebut, Jaksa hanya bertugas sebagai fasilitator. Jika dalam proses restorative justice tidak menghasilkan titik temu antara pelaku dan korban, maka menjadi hak para pihak untuk melanjutkan ke pengadilan.

“Kami dalam hal ini hanya memfasilitasi. Jika mediasi menghasilkan sepakat, maka kami keluarkan penghentian penuntutan,” pungkasnya. (bs)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version